Aku Bukan Istri Teroris
Endah Sulistiowati
Dir. Muslimah Voice
Surabaya, 29 Mei 2007
Eksan memacu motornya lebih kencang lagi. Memecah pekatnya malam kota Surabaya, satu tujuannya ke tempat praktik Dokter Hermawan. Dewi yang duduk di jok belakang semakin cemas, pandangannya tidak lepas dari si kecil yang ada digendongannya. Lima belas menit kemudian mereka tiba di klinik Dokter Hermawan.
“Mohon Maaf, Bayi Fathiya sudah tidak tertolong lagi” kata Dokter Hermawan setelah sekian lama mengecek kondisi Bayi Fathiya.
“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un” Eksan dan Dewi berucap pelan, masih antara percaya dan tidak.
5 Juni 2007
“Mohon maaf, saudara Eksan Syuhada anda kami tahan, dan ini surat perintah penyidikan penahanannya” Ucapan Pak Polisi di depan pintu seakan tak mampu menembus gendang telinga Dewi. Di depan sana ada 2 mobil Densus 88 dengan satu kompi pasukan berseragam lengkap.
Di sebrang jalan ratusan penduduk menggerombol, mereka penasaran tetangga mereka ada teroris yang jadi teroris. Garis polisi pun dipasang, tanda bahwa rumah ini bermasalah. Sebelum naik ke mobil polisi, Eksan memeluk erat istrinya dan membisikan sesuatu. Sejenak kemudian Eksan digelandang masuk ke mobil polisi.
Sejak saat itu Eksan Syuhada resmi ditahan dan dinyatakan sebagai teroris. Tepat setelah tujuh hari kematian bayi Fathiya buah pernikahannya dengan Dewi Mashitoh.
7 Juni 2007
Dewi dan keluarga terus melakukan mediasi dibantu para pengacara yang tergabung dalam Tim Pengacara Muslim (TPM). Eksan ternyata tidak ditahan di Polda Jatim, tapi dikirim ke Jogjakarta. Hati Dewi begitu pilu melihat di televisi Eksan turun dari pesawat dengan borgol di tangan dan rantai besi di kaki, baju oranye khas tahanan dan seperti ada lebam di pelipis kirinya. Dalam satu minggu ini Dewi harus kehilangan dua orang yang disayanginya.
8 Agustus 2007
Eksan dijatuhi hukuman 8 tahun penjara karena terbukti melakukan kontak dan mentransfer uang dari rekeningnya kepada beberapa orang di Poso yang dikenali sebagai korban kebiadaban kerusuhan waktu itu. Astagfirullah.
Tiba-tiba Dewi merasakan kepalanya berputar-putar dan pandangannya ber kunang-kunang. Gelap. Dewi tidak merasakan apa-apa lagi.
“Alhamdulillah, kamu sudah sadar Dewi” Ibu berseru pelan sambil mengelus kerudung Dewi.
“Kita dimana Bu?” Tanya Dewi
“Kamu di Rumah Sakit ini, sudaah istirahat dulu, kata Dokter kamu hamil, sudah 10 minggu” Ujar Ibu sambil tersenyum.
“Hah” Dewi pun tidak tahu apakah dia harus bahagia?
4 Mei 2008
Bayi laki-laki Dewi lahir dengan selamat, Dewi memanggilnya Umar. Hampir setiap pekan Dewi membawa bayinya untuk mengenal Ayah nya di Rutan (Rumah Tahanan)
8 Agustus 2015
Alhamdulillah wa syukurilah, Eksan pun bebas. Dengan penuh suka cita Dewi dan keluarga menjemput Eksan dari Rutan. Apalagi Bayi Umar yang telah tumbuh menjadi jagoan kecil yang tangguh, riang sekali menjemput sang Ayah yang sebentar lagi akan bergabung lagi dengan mereka. Umar telah menyiapkan banyak rencana untuk mengisi hari-harinya bersama Ayahnya nanti.
15 Desember 2015
“Yah, kayak nya Umar mau punya adik” Dewi menyapa suaminya di dapur sambil tersipu.
“Aih, masa sih?” Eksan kegirangan.
“Alhamdulillah, Umar mau punya adik, yeye yeye, yes!” Umar yang tiba-tiba nimbrung meloncat-loncat kegirangan.
7 Januari 2016
“Yah, anak kita kan sudah mau tiga, tolong jangan ada rahasia diantara kita? Apa sih yang Ayah lakukan?” Tanya Dewi penuh selidik.
“Aku tidak mau kejadian 9 tahun yang lalu terulang kembali” Lanjutnya, dan tiba-tiba ada kristal bening jatuh dari sudut matanya.
“Apakah kalau aku jujur, Bunda percaya?” Eksan ganti bertanya.
“Iya” Jawab Dewi yakin.
Hmmmhhh Eksan bernafas panjang.
“Ketahuilah, aku hanya mengumpulkan sedekah dari para agniya (orang kaya) yang mau menyisihkan hartanya untuk umat, benar sebagian aku kirim ke anak-anak yatim di Poso. Sebagian lain aku kirimkan untuk anak-anak Aceh yang terkena tsunami. Sebagian lagi untuk pembiayaan dakwah Islam. Apakah aku salah Bunda?” Jelas Eksan panjang.
“Aku percaya, bolehkah Ayah mengenalkanku pada guru dan teman-teman Ayah, aku ingin menjadi bagian dari dakwah Islam ini?” Dewi tidak kuasa menahan butiran air itu untuk terus mengalir dari matanya. Eksan memeluk istrinya erat.
“Kita akan berdakwah dan berjuang bersama” Ucapnya lembut dan tak terasa matanya pun berembun.
.
4 September 2016
“Pak Eksan, sepertinya kondisi Bu Dewi terlalu lemah untuk bisa melahirkan normal” Ujar Bu Bidan Ningsih cemas.
“Saya ngikut Bu Bidan saja, asal bayi dan Bundanya selamat” Sahut Eksan tak kalah cemas.
5 September 2016
“Alhamdulillah, Bayinya sudah lahir, dan Ibunya pun selamat, silahkan di-adzan-i pak” Seorang suster membawa bayi perempuan cantik yang terpaksa lahir dengan proses caesar.
“Alhamdulillah” Semua keluarga yang ada di rumah sakit ikut bernafas lega. Bayi perempuan cantik itu pun dipanggil Aisyah.
9 September 2016
Harusnya Dewi sudah boleh pulang. Namun kondisinya belum stabil.
“Yah, tolong nanti habis Shubuh panggilkan Kak Ulfi kesini ya, rasa-rasanya kok semakin ringan ya” Eksan yang sedari tadi bertafakur menoleh kaget.
“Apanya yang ringan?” Tanyanya.
“Tubuhku ini lho, seperti melayang”
“Bunda makan yang banyak, biar sehat dan lekas pulang, tubuh Bunda terasa ringan karena kurang asupan nutris.” Eksan beranjak duduk disamping Dewi.
“Habis Shubuh insyaallah aku pulang Yah, Ayah jaga diri ya!” Ujar Dewi lemah.
“Hhhh, kita kan pulang sama-sama” Sahut Eksan bingung.
“Yah, tolong angkatkan Aisyah, aku ingin memeluknya sampai waktunya habis” Dewi membiarkan kebingungan Eksan.
“Yah, kak Ulfi kan belum menikah, tapi dia sangat baik dengan anak-anak, kalau waktunya tidak cukup sampai kak Ulfi kesini, sampaikan ke Beliau, aku nitip Ayah dan anak-anak, kak Ulfi kan guru ngajiku, uuhuk, uhuks” Dewi berkata sampai terbatuk.
“Sudah ah, ngomong apa sih, tuh sudah shubuh, aku ke masjid dulu” Eksan mengecup istrinya, lantas pergi ke masjid.
Sehabis dari masjid dilihatnya Dewi, namun Eksan curiga, wajahnya semakin pucat, disentuhnya kaki Dewi, dingin.
“Bunda!” Panggilnya.
“Ya…, Ayah dah datang” Sahutnya lemah
“Bunda, kenapa? Aku panggil Dokter atau Suster ya?”
“Yah, maaf ya, aku nitip anak-anak” Pelan sekali suara Dewi nyaris tidak terdengar.
“Waktunya sudah habis, la ilaha Ilallah… “
“Dewi, Dewi, Dewi!”
“Innalillahi wa inna ilahi roji’un” Eksan bergumam pelan.