Ini Bukan Cinta

Sumber gambar : galery rumahmediagrup.com

Ini Bukan Cinta

Lelaki dewasa dengan penampilan yang tenang mampu membuat kacau hatinya.  Hanya dalam hitungan detik sesaat ketika sentuhan tangan itu beradu dalam sebuah gengaman.

“Aku telah merangkai mimpi, menikmatinya dan menganggapnya ada. Padahal hampa,“ kata lelaki itu dengan nada yang sangat pelan.

“Kamu masih menganggapnya ini sebuah kenyataan?,” tukas perempuan itu dengan ketus. Wajahnya terlihat menahan amarah. Sesekali dia melepaskan genggaman tangannya. Namun semakin dia berusaha melepas, sekuat itu genggaman sang lelaki.

“Bukan, ini hanya mimpi yang aku rajut, ya mungkin saja sesungguhnya tak pasti dan aku memaknainya sebagai kebenaran” sahut lelaki itu dengan datar

“Kamu jahat. Apa kamu tidak bisa merasakan kegelisahanku atas sikapmu itu?, kamu akan mencintaiku seperti kamu mencintai udara. Seperti mencintai kehampaan. Seperti mencintai bayang-bayang, yang akan hilang ataupun pergi bersamaan hilangnya sebuah cahaya. Maafkan aku, aku tak paham membaca sikapmu,” kata perempuan itu dengan nada tinggi

Lelaki itu angkat bahu, tanda tak peduli. Sesekali matanya menatap keluar jendela. Hiruk pikuk orang dalam bis tidak memudarkan pembicaraan mereka. Hati mereka beradu dalam persepsi masing-masing. Ironi dalam diri mereka mungkin hanya kemunafikan atau hanya perasaan yang bias. Antara cinta atau rindu. Saat cinta menanyakan kepastiannya, atau bahkan saat rindu mencari pelabuhannya. 

Rindu bertanya,” Siapa kamu?”. Kemudian, Cinta menjawab dengan sangat keras, “Aku Cinta yang tak pernah kau rindukan”.

“Biarkan saja, aku jatuh cinta padamu. Cinta ini sudah tumbuh sejak pertama kali kita bertemu. Cinta ini diam saja menempati relung hatiku. Tapi kau juga tak pernah peduli. Aku terlalu lama berpura-pura untuk hal yang seakan semu. Bangunan persepsi tentang cinta ini semakin kokoh, dan sekarang aku tak bisa lagi lari dari semuanya. Sudahlah….” kata lelaki ini dengan nada yang bergetar

Ya, entahlah. Apa yang sebenarnya terjadi di antara keduanya. Perempuan itu memiliki perasaan yang berbeda. Letih mengikuti kemauan lelaki sahabatnya itu. Sedemikian tolol, lelaki yang beristri itu larut dalam cinta yang bias. Dia terlalu percaya diri dan merasa sanggup membangun puing-puing cinta sampai pada terendah. Ya, titik terendah dalam harga dirinya selama ini.

Dalam sedih dan sedikit frustasi, lelaki itu masih saja menyakinkan bahwa ada cinta di antara mereka.

“Ini bukan cinta, hentikan segera. Perbaiki semuanya,” bujuk perempuan itu dengan sedikit memohon. “Cintailah istrimu, keluargamu. Biarkan aku bahagia dengan suami dan keluargaku.”

Sementara itu, tepat dibelakang mereka duduk. Aku merasakan kesedihan, terdiam mencoba memahami makna cinta. “Jagalah dia hanya untukku,” pinta rindu pada cinta. Ku lihat lekat-lekat cincin pernikahan, bibirku berbisik lirih, “Aku akan tetap mencintaimu…sampai kapanpun, suamiku.”

rumahmediagrup/Anita Kristina

Email Hosting