Kemuning di Ujung Desa
Jalanan desa masih sepi, rinai hujan belum juga mau berhenti. Nyanyian katak bersahutan, riangnya menyambut hujan, tak seperti aku yang gelisah menggegaskan langkah untuk segera tiba di ujung desa.
Harum kemuning menyambutku dari jarak yang cukup jauh dari langkah kakiku. Pohon kemuning tua di ujung desa, tempat berteduh disaat panas dan sedikit melindungi dari kucuran air disaat hujan. Di sanalah kutunggu angkutan desa yang akan membawaku ke kota.
Rintik hujan masih tersisa, aku masih disini, berteduh di bawah kemuning. Hembusan angin menelisik kulit mendinginkan raga, setiap dahan dan ranting kemuning menghitam bermandikan air hujan, entah kenapa aku merasa tenang jika melihat pohon kemuning seusai hujan.
Angkutan desa tak kunjung datang, penumpang lainpun sepertinya enggan untuk beraktifitas di pagi yang dingin ini. Aku masih terpaku sendiri, memandangi bunga kemuning yang berserakan di atas tanah yang basah.
***
“Bu, dokumen ibu jelek, saya ragu untuk memberikan persetujuan keberangkatan ibu” ujar salah seorang petugas kepadaku.
Aku terkesiap, ya Tuhan, tidakkah manusia di depanku ini memiliki perbendaharaan kata yang santun, sehingga berucapun tak memikirkan orang yang diajak berbicara.
Beruntung pikiran warasku masih menguasai, sehingga dapat kutahan emosiku untuk membalas perkataannya.
“Mohon maaf pa, apakah masih boleh saya lengkapi lagi” ujarku dengan nada rendah memohon. Sudah lima kali aku bolak balik ke kota untuk mengurus kepergianku sendiri ke tanah rantau.
Tanah yang aku sendiri belum pernah tahu dan menginjakan kaki di sana. Hanya berbekal pengetahuan yang kupelajari dari media sosial, tentang budaya setempat, adat istiadat dan ragam sosialnya. Ku kuatkan hati untuk melamar menjadi pahlawan devisa.
Demi kedua buah hatiku dan ibu yang telah melahirkanku, aku berusaha dengan segenap kemampuanku dengan sisa- sisa kesempurnaan yang masih kumiliki.
Ya, aku bukan wanita yang sempurna lagi sejak kecelakaan itu. Berjalanku tak selincah dulu, berlaripun tertatih- tatih. Namun Tuhanku masih menyayangiku dengan tetap menitipkan ketrampilan yang bermanfaat selama kehidupanku.
Ayah anak- anakku telah bosan dengan keterbatasanku dan ketidak sempurnaanku, lebih memilih menghabiskan sisa waktu dengan wanita yang lebih sempurna. Entah kapan peristiwa itu terjadi, aku tak mau larut untuk mengingatnya.
***
Aku masih termangu di meja resepsionis kantor pemberangkatan TKW, apakah keterbatasanku yang membuat aku ditolak. Dalam kepasrahan hati yang mendalam, datanglah pertolonganNya.
“Nak kamu yakin bisa di berangkatkan?” wanita paruh baya menghampiriku, tatapan matanya teduh, seperti tatapan mata ibuku.
Aku hanya mengangguk, tak ada lagi kata yang bisa kuucapkan. Wanita bijak itu dapat menangkap pesan dalam sorot mataku, sebelum akhirnya aku di bawa ke ruangannya untuk bicara empat mata.
Nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan, luruh air mataku menerima karunia hari itu. Aku tidak harus menjadi pahlawan devisa dan meninggalkan orang- orang yang kucintai, untuk berbakti pada mereka.
Wanita bijak itu telah Tuhan kirimkan untukku, yang merubah jalan hidupku. Membantuku menjadi pribadi yang utuh, kuat dan bermanfaat untuk orang lain
***
Bagiku kesulitan adalah peluang, cacat hanya perbedaan semata, namun kebeningan hati dan prasangka baik dalam kehidupan adalah bekal utama
Kini di bawah kemuning di ujung desa, kembali kutitipkan sebuah kisah. Kisah perjalanan hidup anak manusia.

rumahmediagrup/anisahsaleh