
Kontruksi Intelektual : Berhati Luhur
Berawaldari pertanyaan bagaimana kontruksi intelektual akademi bekerja? Apakah dapat melakukan kontruksi pemikirannya ke arah eksisting negeri ini? Dan sering kali kontruksi pemikiran yang terjadi adalah terpecah-pecah antara desain pendidikan, politik, sosial, ekonomi, budaya, agama dan lainnya. Sementara itu urusan kemanusiaan seringkali didiskusikan di kalangan LSM, jarang dibicarakan dalam dunia akademisi. Apakah hanya sebatas kemakmuran dan kesejahteraan yang disajikan dalam dunia akademi kita? Apakah iya begitu?
Selama ini desain negara selalu fokus pada persoalan kemakmuran dan kesejahteraan. Kalau begitu bagaimana penelitian penunjangnya? Selama ini para ekonom selalu mengukur realitas dari hubungan sebab akibat dari pertumbuhan dan kemanfaatan ekonomi, terkoneksi dengan teori dan asumsi-asumsi ekonomi. Apakah realitasnya tergantung pada kepentingan, manfaat, harus terkoneksi dengan teori atau asumsi atau riset empiris? Ada sisi eror atau penganggu yang berada dalam lingkaran hubungan tersebut.
Kesadaran-kesadaran dalam dunia akademi sudah terkontruksi pada teori-teori yang sudah ada. Kebenaran sudah dikontruksi dalam teori-teori yang terjebak pula pada pemikiran hasil penelitian. Sehingga, kalau kita terjebak pada berpikir pragmatis seperti itu maka kita terjebak pada pemikiran hanya keuntungan ekonomi semata. Karena diasumsikan selalu tumbuh motif untuk meningkatkan pendapatan.
Realitas selama ini berbasis pada masalah kemakmuran. Terdapat politik ekonomi inklusif, hal ini menyebabkan creative destruction. Selanjutnya untuk menyelesaikan hal tersebut dilakukan melalui institutional grift dengan asumsi material logical berpikir. Tetapi kelemahan asumsi ini adalah terdapat celah teoritis subjektivitas pemahaman institutional drift, celah basis dasar ideologis tiap peradaban, potret berdasarkan pada ideologi tunggal liberalisme. Sehingga muncul gap institutional yakni teoritis ekonomi dan kesadaran ketuhanan.
Dampaknya adalah terjadinya diskursus kemakmuran. Cara berpikir diskursus kemakmuran fokus pada material. Ideologisnya berbasis pada fungsi teoritis. Misalnya pada teori peningkatan pendapatan. Manusia sekarang didesain dengan pendekatan fungsi. Maksimasi fungsi variabel tertentu. Fungsi pendapatan menjadi mindset fungsi. Fokus pada perolehan laba sebesar-besarnya. Sedangkan gungsi adalah pragmatisme, selama tidak berfungsi maka tidak dapat dilakukan. Fungsi inilah yang menjadi masalah.
Dalam persamaan rumusan matematika ekonomi, bagaimana bila Pancasila atau agama tidak dapat masuk dalam persamaan dalam rumusan ekonomi? Tuhan ada dimana? Tuhan adalah kepercayaan dan keyakinan. Beberapa variabel hanya berasumsi pada variabel yang dapat diukur secara material. Hal-hal yang berkenaan dengan Tuhan dan agama dikesampingkan, bahkan dianggap eror.
Pola-pola pendidikan difokuskan pada pendidikan text book barat, digunakan sebagai pedoman belajar. Terjadi maksimalisasi keuntungan, dan Tuhan dihadirkan hanya sebagai alat kepentingan material. Jahat gak sich? Kurikulum dan sks matakuliah hanya difokuskan pada kesejahteraan, kemakmuran dan pendapatan. Sedangkan mata kuliah ketuhanan dan Pancasila hanya terdapat 2 sampai 4 sks. Sehingga yang kita takutkan adalah kita membuat generasi kita menjadi jahat, serakah dan materialistis. Tidak lagi bermoral, bahkan tidak bertuhan.
Di sisi lain, ada pertumbuhan teknologi yang cepat dan ini akan membuat kita bergerak, membentuk big data. Kita sedang dalam bertempur dengan big data dan data ketuhanan dan keyakinan. Regilius kita semakin rendah, agama hanya dijual hanya dengan alasan kepentingan. Titik temu bisa juga ditemui saat sekarang, tidak dapat dikendalikan. Pengalaman keagamaan yang kita kenalkan pada mahasiswa adalah pengalaman keagamaan masa lalu, dan ini tidak sama dengan kebutuhan saat sekarang. Ini sangat mengkhawatirkan.
Jika terjadi adopsi teknologi, maka tradisi kita akan habis. Sehingga ada kekacauan, jika keilmuan semakin tinggi, namun moralitasnya rendah. Selanjutnya bagaimana? Perubahan apa yang kita dilakukan untuk merepresentasikan intelektual? Bagaimana caranya? Kita seharusnya mengembalikan tugas keintelektualian kita. Apa itu? Apa kita harus terpenjara dengan realitas, ketidakmampuan kita untuk bergerak atau berubah.
Kebutuhannya sekarang adalah intelektual yang melayani, bukan menjual intelektual. Agar kita dihormati secara intelektual. Mentalitas pragmatis intelektual seperti ini biasanya punya style kanan kiri oke. Mengetahui sesuatu yang salah tetapi dia tidak punya keinginan untuk berubah. Bisa jadi sebagai intelektual religius, spritual, bermoral, dan sangat berpihak pada ketidakadilan. Tetapi dia gagal memahami bahwa terdapat kebersamaan intelektual, dia ingin selalu tampil terdepan.
Sudah seharusnya para intelektual kembali berorientasi pada nilai, ideal, menolak kebijakan yang menyimpang yang dilakukan negara. Karena kita perlu menangkap hal kritis untuk berubah, yaitu believing intelectual. Modern intelectual sudah beredar luas dalam masyarakat. Sesungguhnya yang dibutuhkan adalah intelektual berhati luhur. Akademisi yang berjiwa kemanusiaan dan berhati nurani, tidak hanya mengkontruksikan pemikirannya dalam tataran kemakmuran pribadi.
Sumber tulisan : Pemikiran Dr. Aji Dedi Mulamarwan, Founder Yayasan Rumah Peneleh, yang disampaikan pada materi pelatihan Relawan Riset Peneleh 7. Malang, 28-30 November 2019.
rumahmediagrup/Anita Kristina