Mencintai Rasa Sakit
Apa komentar kita kalau ada yang mengucapkan kata-kata sesuai judul tulisan ini, “Mencintai rasa sakit?”
Pasti kita akan langsung berucap, “Yang benar saja. Mana ada yang mau mencintai rasa sakit? Semua juga tahu, rasanya sakit itu nggak enak. Bikin sedih, galau, merana, bahkan sampai ada yang bunuh diri karena nggak kuat menahan sakit.”
Iya, sih. Rasa sakit itu nggak enak dan pasti akan selalu menjadi hal yang kita hindari.
“Hidup itu harus dibikin hepi. Jangan mikir yang berat-berat!” Ini sebagian komentar teman-temannya penulis.
Salah nggak, sih, membenci rasa sakit? Ya, nggak salah. Itu normal sekali. Manusiawi.
Tetapi, ada kalanya kita mau tidak mau, suka tidak suka, harus menerima kenyataan hidup yang menyakitkan. Tidak bisa mundur lagi ke masa lalu dan mengenyahkan sejarah hidup begitu saja agar tak merasakan sakit. Tidak ada yang menjamin bahwa kalaupun kita bisa memutar kembali waktu yang lalu, maka sejarah hidup akan lebih baik, bukan?
Sekarang, di saat ini, bisa jadi kita harus ikhlas berjalan berdampingan dengan rasa sakit. Tetapi apakah rasa sakit itu selalu berarti buruk? Dan apakah rasa bahagia itu selalu berarti baik?
Mari kita renungkan sejenak saja. Ketika dulu kita mendapat nilai ujian buruk di sekolah, saat diejek teman atau dimarahi orangtua, pasti merasa sakit, kan? Setelah itu apa yang akan kita lakukan? Berdiam diri sajakah? Atau berusaha belajar agar nilai ulangan selanjutnya menjadi lebih baik?
Saat menjadi penulis, naskah buku kita sering ditolak penerbit, sementara teman-teman penulis lainnya malah selalu diberi kemudahan menerbitkan buku. Sakit hati? Kecewa? Marah? Terpuruk? Pastinya. But once again, it’s normall feeling.
Dari rasa sakit karena gagal menerbitkan buku, semangat kita kemudian akan terpacu untuk bangkit dan memulai lagi. Rasa sakit malah menjadi amunisi baru untuk berjuang kembali. Berusaha lagi.

Tengoklah orang-orang hebat yang ada di sekitar kita. Adakah masa lalu mereka mulus-mulus saja? Adakah di antara mereka yang tak pernah bergaul akrab dengan rasa sakit?
Jawabannya, mereka bisa menjadi orang-orang hebat seperti sekarang itu karena akrab dengan rasa sakit. Tak pernah mereka membenci, yang ada justru menerima dengan ikhlas dan merangkul rasa sakit agar menjadi energi baru dalam menumbuhkan semangat.
Ada kalanya, sesuatu yang kita pikir baik, nyatanya mencelakakan, melenakan, dan melalaikan dari terus berjuang maupun berusaha. Sebaliknya, sesuatu yang dipikir buruk, justru yang menjadikan kita sukses meniti tangga keberhasilan.
So, mari cintai rasa sakit untuk kemudian kita kelola agar menjadi pendorong keberhasilan di masa mendatang. Jangan membencinya. Bisa jadi rasa sakitlah yang membentuk kita menjadi orang yang lebih tangguh dan kuat di masa depan.
***
rumahmediagrup/rheailhamnurjanah