Tanggung Jawab Karena Cinta
Suatu hari saya melihat akun instagram salah satu temannya si tengah. Sebutlah namanya Cempaka. Saat itu usianya masih 16 tahun. Kelas satu SMA. Dulu mereka berkawan akrab. Tetapi, semenjak si tengah masuk ke boarding school intensitas pertemuan mereka berkurang dan akhirnya berhenti tak ada kabar.
Foto yang saya lihat di akun anak itu terlihat cantik dalam balutan seragam sekolahnya. Tetapi ketika menyelisik poto-poto lain dalam outfit keseharian dan berbagai kegiatan, sukses membuat kening saya berkerut dan mata melotot.
Bagaimana bisa? Usia remaja tapi dandanan full make up dekoratif layaknya gadis usia dua puluhan dengan pakaian yang rada terbuka di bagian atas. Seksi dan ketat. Posisi sedikit menantang.
Ala selebgram yang diendors produk kecantikan. Tidak! Dia bukan selebgram.
Caption yang dibuatnya juga sedikit nyeleneh dari bahasa seorang anak baru gede. Para komentatornya pun rata-rata anak lelaki dengan bahasa yang sedikit menggoda.
Hilang sedikit kekaguman saya. Padahal dulu anak itu terlihat manis dan sopan. Saya cukup tahu keluarganya dengan baik.
====
Keempat anak saya ada dalam zona sosial dan pergaulan yang sama. Sama-sama remaja dan anak muda. Mereka produk generasi Z yang sangat kritis, serba ingin tahu, berani mengungkapkan apa yang dia impikan dan apa yang tidak suka tanpa basa basi. Kreatif dan inovatif.
Sementara saya si generasi X yang terbiasa dengan etika dan kepatuhan pasif kepada yang lebih tua. Generasi yang mengedepankan norma serta tata krama dalam bersikap dan bertindak.
Berbenturan.
Tetapi, tentunya saya punya tanggung jawab untuk mendidik mereka sesuai dengan zamannya tanpa harus meninggalkan norma yang ada. Sulit pastinya, karena saya didik oleh generasi tua yang mungkin kaku dan tegas tanpa kompromi. Bagi saya, tanggung jawab mendidik mereka adalah bentuk cinta yang sangat besar.
Sedikit cerita kembali ke masa dulu ketika anak-anak masih usia hitungan tahun. Saya cukup “rewel” mengenai masalah pakaian yang mereka pakai dalam keseharian. “Kerewelan” ini juga hasil kesepakatan saya dan suami dalam urusan pendidikan di dalam rumah.
Ketika mereka kecil, kami membiasakan anak-anak untuk tidak memakaikan pakaian yang modelnya terbuka untuk anak perempuan di area umum. Jika dalam rumah masih diperbolehkan. Itu salah satu kesepakatan kami.
Di sisi lain, saya sering melihat para ibu muda seumuran begitu kalap jika melihat baju-baju yang lucu dengan potongan yang terbuka di bagian atas atau rok dan celana ketat yang super pendek untuk anak perempuan kecilnya.
“Namanya juga masih anak-anak! Engga kenapa kali ya dipakein baju gitu kayak anak artis anu. Cakep lho! Lucu tuh kelihatannya. Bikin gemes,” celotehan mereka.
He he he. Saya hanya tertawa kecil dan manggut-manggut mengiyakan saja. Rasanya malas untuk berdebat. Ternyata ujiannya cukup besar juga ketika saya sedang membiasakan anak-anak memakai baju yang tertutup, sementara di sisi lain godaannya cukup besar.
Begitu juga dengan anak lelaki saya, semenjak usia dua tahun dan masuk taman kanak-kanak sudah mengenakan celana panjang untuk seragam sekolahnya. Sementara saudara perempuannya, para gadis kecil memakai rok atau gaun di bawah lutut dengan atasan tangan panjang atau pendek berlengan untuk sehari-hari.
Perlahan-lahan, sedikit demi sedikit saya membiasakan anak-anak untuk menutup auratnya lewat pakaian dan adab yang baik. Semua butuh proses.
Ketika para gadis kecil mulai masuk masa pubertas di usia tiga belas tahun dan sudah mendapatkan haid, seringkali saya ajak mereka berbicara mengenai masalah organ intim tubuh wanita, perawatannya dan segala hal yang berkaitan dengan dunia perempuan. Tentu dengan bahasa sederhana tapi jelas dan tegas. Tak lupa saya mengenalkan mereka dengan skincare sesuai kulit dan usia.
Untuk perjaka belia saya, ayahnya yang mungkin banyak mendominasi.
Dunia mereka sama.
Saya selalu mengatakan betapa berharganya mereka dalam keluarga dan juga lingkungan. Harta yang berharga yang harus kami jaga sampai masanya datang. Menanti seseorang yang akan menjadi pendamping dan belahan jiwanya. Selalu saya ingatkan juga untuk mulai menjaga pergaulan dan mengontrol emosi. Mungkin saya terlihat kolot dan tidak permisif.
“Bunda itu bawel dan cerewet,” kata para gadis saya.
Walaupun mereka mulai sering protes dengan aturan yang saya terapkan, mereka tetap mematuhinya. Biarlah, suatu saat mereka akan paham maksud saya. Sementara si perjaka lebih banyak belajar dari ayahnya. Walaupun untuk urusan curhat tetap sayalah tempatnya mengadu.
“Al -Ummu madrasah Al-ula
(Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya).
Bila engkau persiapkan dengan baik maka engkau telah mempersiapkan bangsa yang baik dan kuat”
Pict by Pinterest
rumahmediagrup/irmasyarief