::Tentang Mengaji::
Terkadang saya aneh melihat cara pandang kita sebagai manusia. Dalam hal ini adalah tentang konsisten terhadap sesuatu, misal belajar agama.
Banyak sebagian kita yang menganggap sepele mempelajari agama. Sehingga hal itu tak terlalu menjadi poin penting dalam kehidupan. Padahal sudah jelas dalam nash dituliskan untuk “Iqra’!” Dalam hadits juga dinarasikan bahwa belajar itu wajib hukumnya. Terutama belajar agama. Karena yang akan membawa kita kepada kedamaian dan keselamatan hidup hanyalah lewat tuntunan agama. Dan itu tak serta merta kita dapatkan jika tidak melalui proses belajar.
Fakta di lapangan, saat seorang anak lulus pendidikan dasar, mulai enggan untuk datang ke tempat mengaji. Hanya tinggal sebagian kecil saja yang masih hadir, dengan effort besar orang tuanya. Alangkah beruntung orang yang mampu, mereka bisa memanggil guru mengaji ke rumah untuk mengajar anak-anaknya. Sedang yang biasa-biasa saja sudahlah tak bisa membayar guru ke rumah, memaksa anak untuk datang ke rumah gurunya pun tak bisa.
Lantas siapa yang bertanggung jawab jika anak kita tak mampu membaca kalam Tuhan dengan baik dan benar? Siapa yang akan kita salahkan jika saat kita sakaratul maut, anak kita hanya bisa menangisi jasad orang tua tetapi lisannya kaku melafaz quran?
Pun kita yang telah menjadi orang tua, apakah kewajiban belajar telah terhenti? Justru sebagai orang tua harus tetap belajar. Bagaimana kita menginginkan anak yang baik, saleh-salehah, sementara kita tidak mampu?
Saya sering mengatakan kepada ibu-ibu muda dan yang nyaris setengah abad, untuk menyempatkan, bahkan memaksa diri hadir di majlis ilmu. Mau sambil membawa anak, atau hanya duduk mendengarkan, yang penting hadir.
Ketika kita sudah menetapkan bahwa hari tersebut ada jadwal belajar, maka urusan lain yang bukan udzur syar’i tinggalkan. Tapi kadang kita menyepelekan itu. Sudahlah belajar mengaji hanya sekali seminggu, tiap pekan ada aja alasan untuk tidak hadir. Entah itu ke rumah mertua, ada acara kondangan, diajak jalan suami, kan harus nurut sama suami mbak, dan lain sebagainya.
Kecuali karena halangan sakit, hujan lebat, musibah yang bukan atas kehendak kita, itu dimafhum. Harusnya pak suami yang mengerti bahwa istrinya di hari A ada jadwal belajar. Jika ingin pergi, tunggu sampai selesai, belajar di majlis gak sampai 3 jam, mosok kalah sama acara yang masih bisa menunggu. Istrinya itu dimotivasi untuk tetap belajar, meski sambil membawa anak. Bukannya malah dihalangi karena urusan yang tidak urgent.
Mohon para suami untuk tetap menyemangati para istri belajar. Karena tidak mudah memahami pelajaran ketika sudah dewasa AKA tua.
Belajarnya gratis aja masih suka alasan gak hadir, gimana belajarnya pake bayar. Aneh memang kita ini.
Satu lagi yang perlu kita garis bawahi, bukan masalah memberi uang ke guru mengaji kita. Tetapi sebagai murid kita memberikan penghargaan kepada guru yang sudah bersedia meluangkan waktunya untuk duduk di majlis, mentransfer apa yang diketahuinya.
Sungguh beruntung jika kita masih dimampukan untuk hadir di majlis ilmu meski dengan berjalan kaki. Jangan menunggu tua untuk bisa duduk di majlis, jangan sungkan atau malu sebab sudah tua tak bisa mengaji. Karena menuntut ilmu itu dari buaian hinggal liang lahat. Ketika berakhir masa usia, tak ada lagi yang bisa dilakukan. Maka penyesalan pun tiada guna.
Wallahu a’lam
rumahmediagroup//afafaulia