Peribahasa yang mengatakan lihat “rumput tetangga lebih hijau, sungguh memang nyata adanya. Sepertinya rasa iri yang tinggi lebih mendominasi sikap seseorang. Ketika melihat tetangga mempunyai sesuatu yang lebih, dia malah kalang kabut. Mending kalau sesuai dengan kemampuan. Kalau tak sesuai hati akan semakin panas.
Sore itu Yanti baru saja sampai di rumah orang tuanya yang kosong yang sekarang menjadi hak adik bungsunya. Setiap hari ia yang selalu menjaga dan merawat rumah itu karena adiknya tinggal di luar kota. Tak ada lagi sodaranya yang tinggal , hanya dia dan adik bungsunya yang tersisa. Sedangkan adiknya yang lain sudah meninggal beberapa tahun yang lalu sebelum ibunya. Jadi hanya dialah anak satu-satunya yang berkewajiban menjaga seluruh peninggalan orang tuanya. Termasuk hak atas adiknya yang sudah meninggal karena anak-anaknya masih kecil.
Saat itu ia bermaksud menyalakan lampu rumah kosong itu. Baru saja membuka pintu, ia mencium aroma yang rasanya sudah dikenal. Ya aroma pisang matang. Ia ingat tiga hari yang lalu ia menebang pohon pisang di depan rumah itu dibantu oleh pekerja yang sedang membersihkan kebun. Dan ia memeram pisangnya di sana, daripada harus di bawa ke rumahnya. Seperti biasa, setiap kali ia panen pisang, ia selalu membaginya untuk sodara dan tetangga terdekat. Sisanya ia bawa ke rumah.
“Assalamualaikum, Bi ini pisang “. Ia mengantarkan pisang ke rumah pamannya, adik ibunya.
“Eh, pisang yang dari mana? Yang dari kebun itu ya?” Bibi, istri pamannya bertanya
“Iya Bi”.
“Emang siapa yang nebangnya?” Tanyanya
“Itu si bibi yang lagi bersih-bersih kebun”. Jawab Yanti sambil duduk di kursi yang ada di dapur bibinya
“Makasih. Mau makan ga?” Bibinya menawari makan.
“Engga ah, masih kenyang”. Jawab Yanti
“Eh, itu si bibi yang bersihin kebun sekarang lagi di mana?” Tanya Bibi kepada Yanti
“Sekarang lagi bersihin pinggiran kolam yang gede itu Bi”. Jawab Yanti
“Neng sini coba, itu orang-orang pada nanyain ke Bibi emang ini tanahnya mau dibangun. Katanya gituh Neng”. Bibi mulai bergosip.
“Terus Bibi jawab apa?” Tanya Yanti kepada Bibinya
“Yaaa…bibi jawab iya aja, daripada mereka terus nanyain bibi”. Kata Bibi
“Ya Bi, bagus Bi, emang mau dibangun kok”. Jawab Yanti.
Yanti memang tak habis pikir dengan tetangganya itu, setiap kali ia berkunjung ke rumahnya pasti dia akan dapat kabar tak sedap dari bibinya. Apalagi kalau bukan obrolan tetangganya itu. Apalagi semenjak ia sering bolak balik ke rumahnya itu ia sering dapat sapaan sinis dari tetangganya itu. Ya dulu memang mereka adalah tetangganya sewaktu Yanti masih tinggal bersama ibunya di rumah itu. Namun semenjak ia pindah rumah ia jarang bertemu dengan tetangganya itu.
Dia tahu bagaimana watak iri tetangganya saat ibunya masih hidup. Ibunya pernah bercerita, betapa sakit hatinya ia ketika dimarahi oleh salah seorang tetangganya karena ibu dan bibi pembantunya membakar sampah daun-daun kering dari pohon yang ditebang. Rupanya asap dari pembakaran itu mengganggu tetangga sebelah. Tiba-tiba si tetangga langsung menyambangi ibu Yanti dan mencak-mencak marah di depan pembantu dan disaksikan juga tukang yang sedang bekerja di rumahnya.
“Hey, coba dong pegang perasaan orang seperti aku, jangan mentang-mentang banyak kekayaannya”. Kata tetangga memarahi ibunya Yanti sambil mengusap dadanya. Tak seorang pun menjawab makian si tetangga. Ibu Yanti malah bengong dan terdiam apalagi si bibi pembantunya. Mereka tak menanggapinya. Jelas kelihatan banget betapa selama ini tetangga itu merasa iri karena orang tua Yanti mempunyai tanah yang cukup luas. Bahkan hanya karena asap pembakaran Ibu Yanti dimarahi dengan alasan kekayaan. Peristiwa itu tak pernah dilupakan sampai akhir hayatnya sampai ibu yanti meninggal.
Yanti selalu mengingat apa yang telah dilakukan para tetangga terhadap ibunya. Ia juga kini merasakan apa yang dulu dirasakan oleh ibunya. Bagaimana cibiran tetangga ketika ia merenovasi rumah ibunya. Bagaimana ada tetangga yang selalu sinis sambil bilang karena pepohonan dari tanah yang kini menjadi haknya mengganggu rumahnya. Bahkan Yanti pernah mendengar dari ibunya bahwa si tetangga pernah ngomong “ini tanah kaya di hutan aja ga ada bersihnya”. Namun apa yang disaksikannya sungguh membuat hati Yanti menjadi kesal, sudah tau tanah kaya hutan, berantakan tapi dia buang sampah di tanah yang dia bilang kaya di hutan. Halaman sendiri pingin bersih, tapi halaman orang dihina dan dia sendiri yang membuat halaman orang jadi pembuangan sampah. Sungguh heran bagaimana pikirannya orang yang seperti ini. Menghina tapi dia sendiri yang berbuat. Padahal jika ada buah dari pohon yang ada di tanah itu yang lebih dulu mengambilnya adalah dia sendiri sebelum yang punya tanah. Yanti tak pernah mempermasalahkan buah pepaya di depan rumahnya yang hilang saat mau ia petik tetapi seandainya dia bilang bahwa dia yang mengambilnya, Yanti pun pasti memberikannya. Hanya sepertinya tetangga itu tak punya etika ngambil milik orang tanpa permisi. Begitulah apa yang dirasakan Yanti diceritakan semua kepada bibinya.
“Iya bener Neng, Bibi yang liat sendiri waktu dia ngambil pepaya yang di depan rumah itu, bibi intip dari sini, ia sembunyikan di balik topi lebarnya”. Kata Bibi menjelaskan.
“Aneh ya Bi, kalau ada aku kok ga berani minta, padahal aku tak akan pelit kalau soal makanan mah. Kecuali saat dia minta perabotan ibu, jelaslah aku tak akan memberikannya”. Yanti berkata lagi kepada Bibinya.
“Ya begitulah Neng, kalau orang yang iri seperti itu. Padahal kita tak pernah menyusahkan mereka.
“Iya Bi, pokoknya kalau nanti mereka nanya tentang tanah itu, jawab aja seadanya. Insha Alloh mudah-mudahan ada rezekinya saya mau bangun tanah itu daripada hanya dijadikan tempat pembuangan sampah mereka”. Yanti menjelaskan semuanya.
Tak terasa hari semakin sore, sebentar lagi adzan magrib berkumandang. Yanti pun pamit pulang setelah membagi pisang kepada beberapa tetangga dekatnya.