Xiamen – The Journey (4)
“Semoga lidah Lana bersahabat dengan makanan di sana.”
Ya, selain karakter keras dan moody nya Lana, saya sebenarnya khawatir dengan makanan yang akan disajikan selama di sana. Karena saya tahu, ia adalah anak yang lumayan susah beradaptasi dengan rasa makanan.
Pernah pada suatu hari dulu, saya mengajak anak-anak makan di sebuah restoran cepat saji di Jakarta. Seperti biasa semua memesan menu yang sama yaitu nasi goreng. Begitu nasi goreng datang, dengan cepat ia menyantap karena sudah sangat lapar. Namun apa yang terjadi kemudian? Ia menangis. Waktu saya bertanya mengapa ia menangis jawabnya, “It’s not nice, Bunda. I can’t eat it.”
Langsung saja saya mencicipi pesanannya dan memang nasi goreng itu lebih tepat disebut nasi kecap asin. Rasanya betul-betul tidak karuan menurut lidah saya. Namun sebaliknya, Lara sang Kakak, yang memesan menu yang sama tetap terlihat lahap dan malah menghabiskan nasi gorengnya. Katanya, “It’s ok lah, Lana. Just eat it. It’s quite nice for me but still Bunda‘s one is the best.”
Nampak kan perbedaannya? Hahahaha! Untuk Lara, hanya ada rasa makanan enak dan sangat enak. Sementara Lana sang adik sangat pemilih dan cerewet soal rasa.
Maka ketika saya meneleponnya hari itu pun pertanyaan saya salah satunya adalah tentang makanan. Lega rasanya ketika mendengar ia bercerita bahwa semua makanan yang disajikan sangat enak. Alhamdulillah.
Surprisingly, di sana ia menyantap daging, beberapa jenis ikan dengan bermacam kuah tanpa cerewet dan mengeluh. Yay! I’m so proud of you, Nak.
Dengan semangat ia juga bercerita bahwa selama di sana ia belajar makan menggunakan sumpit. Sang adik yang mendengar hal ini membeliakkan mata sambil bertanya, “Bunda, can Muslim eat with chopstick?”
Ya bisa lah, Rayyan, kecuali chopsticknya dibikin dari tulang babi. Hahahahaha!
(Bersambung)
Sumber Foto: White Sands Primary School Official Facebook
rumahmediagrup/rereynilda